Senin, Oktober 27, 2008

Cinta dan Kompromi

Cinta dan kompromi,,
Dua hal yang sepertinya beda tipis
Dengan cinta kita pasti bisa berkompromi dan dengan kompromi kita bisa mencintai
Dan gw mulai ragu dengan dogma yang gw anut sampai detik ini
Gw percaya kalau cinta akan datang tanpa kita undang
Percaya kalau suatu saat gw akan bertemu dengan seseorang yang benar2 bisa mencintai gw apa adanya
Seseorang yang gw cintai juga apa adanya
Tak perlu kompromi atau tetek bengek lainnya
Karena kelebihan dan kelemahan kami sudah otomatis saling melengkapi

Tapi sedikit demi sedikit gw sadar
Cinta itu butuh kompromi
Dan dalam berkompromi itu butuh cinta
Kelemahan pasangan bisa kita maklumi dengan cinta
Kelebihan pasangan bisa melengkapi kita dengan kompromi

Gw sadar.. kehidupan cinta di dunia ini ga selamanya sama kayak yang sering gw baca di novel atau nonton di film.

Berikut ini adalah cerita yang dikirim sahabat gw sejak kuliah.. Tria Sukmadewi. Dia pernah gw ceritain di blog gw sebelumnya, soal pernikahan dia yang bikin dejavu akan semua sahabat2 gw sejak SD sampai kuliah. Sekarang dia tinggal di Bali bersama sang suami berkewarganegaraan Belanda yang sangat dia cintai. Tapi.. ternyata.. hidup bersama itu bukan hanya soal cinta aja.. Banyak hal yang mempengaruhi kehidupan mereka. Mulai dari kendala budaya sampai bahasa. Mengharukan.. Tapi anehnya setiap kita diskusi tentang masalah ini di telpon kita malah ketawa2 terus.. Biar ga stress ya Ia.. sometimes we should laugh at our probs..

Ia, cerita lu gw muat di blog gw ya.. as my promise.. without editing lo.. Here it goes..

Surat untuk sahabat

Sahabatku,
Hari ini, 14 Oktober 2008, sudah 2 bulan lebih aku mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki berkebangsaan Belanda. Perbedaan umur kami cukup jauh, lebih dari separuh umur aku. Namun perbedaan ini tidak terlalu kami permasalahkan, mengingat pada awal hubungan kami, kami sudah membicarakan hal ini masak-masak. Dengan berlandaskan cinta dan saling pengertian, maka kami putuskan untuk menikah pada pertengahan tahun 2008 silam. Walau aku akui, saat itu peran emosi sangat berpengaruh dalam keputusan kami berdua.

Sahabatku,
Hari ini, aku mengakui, bahwa membina rumah tangga itu tidaklah semudah yang aku bayangkan sebelumnya, khususnya dengan pria asing. Mengingat perbedaan bahasa yang sangat mendasar, demikian juga budaya dari masing-masing. Aku pastikan bahwa butuh lebih dari berjuta-juta kesabaran bagi kami berdua untuk saling memahami dan mengisi satu sama lain. Sebelum menikah, kami hampir pastikan tidak pernah mengalami kesulitan berbahasa. Bahasa Inggris sudah cukup menjadi bahasa pengantar sehari-hari bagi kami berdua. Mengingat suami aku tidak pandai berbahasa Indonesia, dan sebaliknya, aku hampir tidak bisa berbahasa Belanda. Ditambah diperparah dengan jumlah perbendaharaan bahasa Inggris kami yang memang pas-pasan. Alhasil aku pribadi menyadari betul ketimpangan masalah bahasa pada kami berdua. Seperti pasangan suami istri pada umumnya, beda pendapat atau cekcok masalah kecil pun pernah kami alami. Namun ketika suatu masalah menjadi besar, aku pribadi mengalami kesulitan untuk mengutarakan opini yang ada di hati aku. Hal ini pun dapat aku pastikan bahwa suami aku mengalami hal yang sama. Saat itu, kamus merupakan suatu benda yang paling berharga bagi kami berdua, tak jarang ketika ada beda pendapat, kamus Indonesia – Belanda lah yang selalu ada di tangan aku. Berharap masalah agar dapat segera diselesaikan.

Perbedaan antara budaya barat dan timur juga menentukan karakter pada diri kami masing-masing. Aku, yang masih memiliki darah keturunan dari Solo, Jawa Tengah, selalu berusaha selembut mungkin dengan suami. Dalam mengutarakan sesuatu sangat berhati-hati, selalu memikirkan perasaan orang lain, diskusi dan kompromi merupakan jalan terbaik bagi aku dalam mencari solusi masalah dan yang terakhir, sifat aku yang cenderung introvert pada suami. Aku sudah berusaha mati-matian untuk bisa sedikit bersifat ekstrovet, walaupun hasilnya tidak seperti yang diharapkan suami aku. Sifat aku seperti berkiblat pada gunung berapi, yang tidak selalu menumpahkan lahar, tapi jika waktunya memang pas untuk meledak, maka gunung berapi aku pun bisa meletus dengan dasyat, tapi itu hanya sesaat. Dalam hitungan jam, hujan larva bisa berubah menjadi lautan yang sangat tenang. Sedangkan suami aku mempunyai karakter yang 180° c berbeda dari aku. Beliau sangat ekstrovet dan blak-blakan, kalau berbicara langsung ke titik permasalahan, kalau sedang emosi sangat meledak-ledak. Jika hal ini terjadi hanya waktulah yang bisa sedikit menyurutkan emosinya, dan biasanya waktu ini dapat berlangsung cukup lama.

Sifat kekeluargaan yang sangat tinggi pada budaya Indonesia masih sangat melekat tinggi pada diri aku. Lain halnya dengan suami. Hal ini terbukti pada cara pandang kami yang berbeda ketika ada sanak family datang berkunjung ke rumah, bahkan keluarga inti aku. Saat itu aku berpandangan bahwa memang sudah sewajarnya jikalau keluarga datang, maka suatu kehormatan apabila mereka mau tinggal di rumah. Karena hal ini memang sudah kerap dan merupakan menjadi tradisi yang sangat menyenangkan di Indonesia. Apalagi ada pepatah yang terkenal seperti makan tidak makan asal kumpul dan memuliakan tamu akan menambah pahala yang banyak. Selain untuk tetap menjaga silahturahmi, pasti menyenangkan jika bisa melepas rindu dengan sanak keluarga. Sudut pandang suami berbicara bahwa keluarga lebih baik tinggal di hotel agar kami tentunya dan keluarga tetap mempunyai privasi kehidupan masing-masing. Memang tidaklah salah jika memiliki pemikiran seperti ini, tetapi alangkah tidak tepat untuk di adopsi di budaya timur, khususnya Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan negative thinking bagi keluarga, karena mereka bisa berfikiran bahwa kehadian mereka akan merepotkan orang lain.

Sahabatku,
Perbedaan-perbedaan seperti ini akan kerap terjadi di kehidupan sehari-hari. Jadi aku pastikan jikalau tidak memiliki saling pengertian dan kesabaran yang tinggi dari masing-masing pihak, maka bisa dipastikan jalan yang di depan mata tidak akan mudah untuk dilalui bersama. Mungkin dari surat yang aku tujukan khusus untuk sahabat aku ini bisa menjadi bahan referensi hati bagi pasangan yang ingin meniti kehidupan dengan pria beda kebangsaan. Hal ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi paling tidak dapat mempersiapkan mental dari awal. Sehingga jikalau memang suatu saat nanti menemukan masalah seperti ini maka tidak akan terkejut lagi atau menjadi “culture shock” bagi masing-masing pasangan. Semoga tulisan pengalaman hidup aku bisa menjadi pelajaran yang bermakna bagi semua sahabat aku. Akhir kata, sukses selalu untuk engkau wahai sahabat.


Bali, 14 Oktober 2008

Love,
Tria Wesling

Tidak ada komentar: