Selasa, Juli 26, 2011

Rasa Bernama Rindu


Aku rindu diskusi yang cerdas
Yang bukan hanya bicara tentang orang lain atau sesuatu yang mau didengar
Tapi juga bicara tentang semua hal di dunia, masa lalu, sekarang dan yang akan datang

Aku rindu perbedaan pendapat yang dianggap sebagai kekayaan pikiran
Bukan dianggap sebagai ancaman
Bukan dianggap sebagai keacuhan
Apalagi sebagai perangkap
Aku rindu perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang menguatkan

Aku rindu kecantikan hati, jiwa, otak
Bukan hanya fisik dan kontes kecantikan dunia
Hati yang bisa membuatku merasa hangat dan tak ingin lepas
Jiwa yang menenangkan walaupun di tengah badai sekalipun
Otak yang membuka pikiranku dan memberi makan bagi syaraf pengetahuanku

Aku rindu itu semua
Aku rindu timbal balik yang seimbang
Bukan berat di satu sisi
Apalagi menimbulkan ketakukan yang berlebihan

Aku rindu hidup bukan hanya untuk menang
Tapi untuk menemukan kesejatian

Aku rindu rasa itu
Dan rasa itu bernama rindu

Kamis, Juli 14, 2011

Siberian Husky dan Kucing Angora

Dulu sangkar kami kecil sekali. Sangkar itu hanya cukup untuk 2 orang, tetapi kami harus berbagi tempat untuk 3 orang. Aku tidak keberatan sama sekali, bahkan aku bahagia bisa berbagi dengan mereka. Satu, Siberian Husky dan satu lagi partnernya, Kucing Angora. Aku, Akita Coklat sangat menyayangi mereka berdua, mereka sudah aku anggap keluarga.

Kami banyak melewatkan waktu menyenangkan bersama. Sekali waktu Kucing Angora membantu ladang perburuan Siberian Husky, lain waktu aku dan Siberian Husky ikut terlibat di ladang perburuannya. Kami juga sering makan malam atau nonton bersama. Sangat menyenangkan.

Menjelang akhir tahun lalu, adik siberian Husky, Curly Pudel pun ikut penuh bergabung di sangkar kami. Jadilah kami berbagi tempat kecil itu untuk 4 orang dan aku pun, sekali lagi tidak merasa keberatan. Sekitar pertengahan tahun ini, kami pindah ke sangkar yang lebih besar. Dengan sepenuh hati aku merapikan barang - barang dan menata sangkar kami yang lebih besar itu.

Bulan demi bulan berjalan. Banyak sekali yang harus kami lakukan. Dan memang, aku merasa Siberian Husky dan Curly Pudel menaruh beban yang berat di pundak Kucing Angora. Sudut pandang mereka berbeda, Siberian Husky dan Curly Pudel yang berkaca mata bisnis, Kucing Angora idealis dan sangat akademis. Aku melihat Kucing Angora diam dan tak pernah mencoba protes atau bicara pelan - pelan. Dan aku mengamati apa yang terjadi sambil sesekali menyemangati semua pihak.

Akhirnya, Kucing Angora meledak dan tiba - tiba menghilang. Siberian Husky yang sedang banyak masalah menjadi kecewa. Aku bilang pada Siberian Husky dan Curly Pudel untuk pelan - pelan bicara pada Kucing Angora, bahwa semua keadaan bisa diperbaiki. Mereka melakukannya, tetapi pada akhirnya, masalah yang dipendam lama, tidak bisa selesai dengan satu kali obrolan saja.

Kucing Angora kembali menghilang dan pada akhirnya meninggalkan kesan yang tidak mengenakkan. Terutama bagi Siberian Husky yang sudah terlalu kecewa. Berulang kali aku bilang pada Siberian Husky bahwa Kucing Angora tidak jahat, ia terlalu kecewa dan aku menyayanginya sampai sekarang.

Tetapi semua sepertinya sudah terlambat. Dan sekarang, ketika Kucing Angora memutuskan untuk tidak mau bertemu dengan Siberian Husky dan Curly Pudel, semua menjadi semakin dan semakin pelik.

Aku masih menyayangi Kucing Angora dan yakin dia tidak jahat, tetapi perasaanku seperti tidak berarti lagi. Dan sekarang aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang aku tahu dan aku yakin ingat adalah dulu kami pernah mengalami saat - saat bahagia bersama.. Aku berharap yang terbaik untuk mereka semua. Dan bahwa sakit hati, kekecewaan dan yang paling parah adalah dendam, tidak akan membuat kita merasa lebih baik dari sebelumnya..

Love,
Akita Coklat

Selasa, Juli 12, 2011

Dalam Dunia Keheningan



Sudah seminggu aku membaca ulang buku "In The Sphere of Silence" atau "Dalam Dunia Keheningan" dalam Bahasa Indonesia karangan Vijay Eswaran. Sebenarnya aku sudah selesai membaca buku ini dari tahun lalu, sudah kuulang dua kali malah. Aku juga pernah sekilas menyinggung tentang buku ini di blog.

Minggu lalu tak sengaja aku teringat dengan buku ini dan tertarik untuk membacanya ulang. Inti dari buku ini adalah tentang mahalnya sebuah keheningan. Kebisingan kerap menyerang dari berbagai macam penjuru dan yang paling parah adalah kebisingan dari dalam diri sendiri. Terlalu banyak kata - kata yang kita bisikkan pada diri sendiri, kebisingan dalam diri itu kerap membuat kita tak bisa mendengarkan orang lain dan bahkan, membuat kita tak bisa mendengarkan kata hati kita sendiri.

Entah kenapa, aku begitu menikmati saat membaca buku ini. Terlingaku seperti beristirahat dari keletihan mendengar, bahkan keletihan mendengarkan suaraku sendiri di telinga. Aku merasa seperti berada di dalam gua yang sejuk dan hening. Aku merasakan kenyamanan yang tak pernah kudapatkan bahkan saat aku sedang bersama dengan orang yang aku cintai sekalipun.

Manusia adalah makhluk sosial, kalimat itu seakan tertanam sangat dalam di otakku sejak aku SD. Selalu saja ada pertanyaan dalam tes : Manusia adalah makhluk... dan Jawabannya pasti sosial. Atau pertanyaan lain : Mengapa manusia disebut makhluk sosial? Hmm.. Sangat - sangat standar.

Aku membutuhkan orang lain, itu pasti. Aku membutuhkan orang lain untuk berbagi, ngobrol, berinteraksi.. bla.. bla.. bla.. Tapi aku juga butuh waktu sendiri, paling tidak untuk mendengarkan jiwaku dan untuk mendengarkan suara Tuhan yang bersemayam di jiwa setiap manusia.

Vijay Eswaran terinspirasi dari Vivekanda, Bunda Teresa dan.. Hmm.. Aku lupa siapa lagi.. :) Ia menyarankan kita untuk menyediakan waktu hening paling tidak satu jam dalam sehari dan disarankan untuk melakukan kontemplasi dan saat hening itu pada saat satu jam sebelum atau sesudah matahari terbit. Tetapi waktu terbaik adalah sebelum matahari terbit. Sama dengan di Alkitab dan sama juga dengan waktu sholat bagi umat Muslim. Karena saat itulah waktu terbaik saat kita mengalami penjernihan mental dan spiritual. Ada benarnya, karena ketika aku mencoba sekali waktu untuk bangun saat tersebut, tubuhku terasa sangat segar.

Namun, cobaannya memang saat besar karena aku terbiasa bangun siang dan tidur larut. Vijay menyarankan agar kita berusaha mencobanya untuk 21 hari, karena jika kita bisa melakukannya 21 hari berturut - turut, tubuh kita akan otomatis bangun dan melakukannya setiap hari.

Sangat patut dicoba dan ini adalah buku terbaik yang pernah aku baca seumur hidupku. Terima kasih untuk kakakku, Sezca yang meminjamkan buku ini. Buku yang sampai hari ini tidak pernah aku kembalikan dan sudah kuanggap hak milik.. Hihihi..

Ini adalah salah satu penggalan tulisan Vijay Eswaran yang aku suka, Vijay mengutipnya dari Vivekanda, Selamat Menikmati.. :

Dunia Ini Bukan Untuk Pengecut (oleh Vivekanda)

Jangan terbang. Jangan hanya melihat kesuksesan atau kegagalan. Bergabunglah dengan kehendak yang sepenuhnya tak mementingkan diri sendiri dan berkaryalah. Ketahuilah bahwa jiwa yang ditakdirkan untuk sukses menggabungkan diri dengan kehendak yang bulat dan terus-menerus bertekun.

Tinggallah di tengah-tengah pergulatan hidup. Setiap orang bisa tetap merasa tenang saat berada di dalam gua atau ketika tertidur. Berdirilah di dalam kerumunan dan kegilaan untuk berkarya serta gapailah intinya. Jika kamu telah mencapai intinya, kau takkan dapat dipindahkan dari sana.

Sabtu, Juli 09, 2011

Danau Toba-Ku


Hawa pagi yang cukup menusuk membangunkan mimpi indahku. Medan memang lebih dingin dari Jakarta saat malam, tetapi menjelang siang, hawanya bisa lebih panas dari Jakarta. Hari itu perasaan bersemangat merasuki jiwaku, setelah sekian tahun tak ke Medan, kampung halaman ayahku, bulan Desember 2010 aku dan seluruh keluarga pulang ke Medan, dan pagi ini, kami pergi ke Danau Toba. Ya, sepatuku akan menjejak ke Danau Toba. Kila, panggilan bahasa Batak Karo untuk Paman, mengatakan bahwa perjalanan ke Danau Toba memakan waktu 4-6 jam dari Deli Serdang, daerah tempat Ayahku lahir dan besar.

Pukul 7 pagi kami berangkat, Ayah, Ibu, Kakak, Adik, Kila dan kakak sepupuku. Aku ingat terakhir aku pergi ke Danau Toba, saat itu aku masih sangat kecil, kelas 6 SD sepertinya, yang aku ingat Danau Toba itu kotor, panas dan tidak meninggalkan kesan yang bagus sama sekali. Tetapi entah kenapa, aku merasa perjalanan ke Danau Toba kali ini akan berbeda.

Kami melewati Pasar Pancur Batu, pasar pusat perdagangan masyarakat sekitar Deli Serdang. Pasar ini cukup besar dan menjual berbagai macam sayur – mayur, baju, makanan ringan, mirip seperti pasar – pasar lain. Hanya saja yang membedakan adalah disini banyak juga yang menjual bunga, dengan uang Rp 10.000, kita bisa mendapatkan 3 ikat bunga matahari dan berbagai macam bunga lainnya. Mungkin karena dekat pasar ini ada tempat pemakaman yang cukup besar. Satu lagi yang merupakan ciri khas masyarakat Batak Karo, di pasar ini ada cukup banyak rumah makan yang menjual BPK atau Babi Panggang Karo, dan ada juga yang menjual anjing untuk dipotong. Aku tak pernah mau melewati tempat penjualan anjing itu, karena aku adalah pencinta anjing kelas berat. Aku tak tega melihat mata anjing – anjing itu, dan mereka semua menunggu untuk dipotong. Sampai saat ini aku juga tak pernah mau makan daging anjing.

Dari Pasar Pancur Batu, kami menyusuri jalan Jamin Ginting yang sangat panjang, terus menuju keatas ke arah Berastagi. Mataku tak bosan – bosannya melahap pemandangan yang sangat indah. Banyak tebing – tebing curam, berbahaya namun pemandangannya menakjubkan. Hawa dingin membuat kami mematikan AC dan membuka sedikit jendela, menikmati segarnya udara tanpa polusi berlebihan seperti Jakarta. Di kiri kanan juga banyak sekali penjual bunga, dan tentu saja penjual BPK. Restoran BPK favoritku adalah Restoran Tesalonika, BPKnya pas sekali dipanggang, sayur singkongnya juga pas, sop babinya juga pas dan restoran ini juga menyediakan WI-FI gratis, satu hal yang cukup jarang ditemukan di Berastagi.

Terus menyusuri tebing – tebing yang berkelok – kelok dan cukup bikin mabuk, di pinggir jalan kadang kala kami melihat monyet- monyet yang bergelantungan di pohon atau berdiri di pinggir jalan. Beberapa mobil berhenti dan memberi makan mereka. Kami juga melewati tempat pengemasan air mineral, Ayahku bilang, sebagian besar air di Medan, diambil dari Sibolangit. Dan air tersebut termasuk air terbaik.

Sekitar jam 12 siang kami sudah bisa melihat pemandangan Danau Toba dari jauh dan kami berhenti di rumah makan tepat di pinggir tebing. Dari rumah makan tersebut, kami bisa melihat pemandangan Danau Toba yang sangaaaaaat indah. Hawa cukup dingin sehingga kami harus memakai jaket tipis. Dari kejauhan Danau Toba tampak sangat besar dan luas, tebing – tebing tinggi mengelilingi Danau tersebut.

Selesai makan kami melanjutkan perjalanan dan sampailah kami di Danau Toba yang terkenal itu. Ketika sampai disana, sirnalah sudah kenangan masa kecil yang terekam di otakku sekian lama, Danau Toba indah! Tidak sekotor dan sepanas dulu lagi. Itu menurutku. Kami berkeliling sebentar sebelum akhirnya naik kapal untuk menyeberang ke Pulau Samosir. Kapal itu cukup besar dan berpenumpang kurang lebih 30 orang. Harga tiket untuk satu orang Rp 40.000. Danau ini lebar dan luas, dan guide kapal tersebut sempat berhenti di satu tebing yang dinamai Batu Gantung. Menurut legenda Batu Gantung ini adalah jelmaan Putri Raja yang putus cinta, memiliki kekuatan magis dan batu ini tidak dapat hancur ataupun jatuh walaupun bentuknya menggantung kebawah. Sang guide mengatakan bahwa pernah ada orang Belanda yang tidak percaya dan menembakknya, namun peluru yang ia tembakkan kembali ke dirinya sendiri dan dia mati. Percaya tak percaya memang. Di pesisir Danau Toba ada beberapa penduduk setempat yang tinggal. Mereka menaiki perahu – perahu kecil dan menyusuri pinggiran Danau.

Kalau dilihat – lihat, tebing – tebing Danau Toba tersebut cukup mirip dengan tebing saat aku menuju ke Phi – Phi Island di Thailand. Perjalanan ke Pulau Samosir memakan waktu sekitar 1 jam, tak terasa karena pemandangannya indah sekali. Namun untuk yang mudah mabuk seperti aku, harus memakai baju yang cukup tebal karena angin cukup keras menerpa kapal dan minum obat anti mabuk.

Sampailah kami di Pulau Samosir. Pulau ini indah dengan pemandangan air terjun dari jauh, tetapi kurang bersih. Terdapat banyak sampah plastik di patung selamat datang di bagian depan Pulau. Patung ini terdapat ukiran 5 jenis suku Batak : Karo, Toba, Simalungun, Mandailing dan Pak-Pak. Fasilitas pariwisata utama yang ditawarkan disini adalah hotel, air terjun, toko – toko souvenir khas Batak dan rumah makan. Karena hanya diberi waktu 2 jam oleh guide kapal, kami berkeliling toko – toko tersebut. Aku sendiri membeli tas dari anyaman tanaman, ada juga kaus, sendal dan barang – barang antik khas Batak. Dua jam serasa tak cukup untuk berkeliling karena guide kapal sudah memanggil – manggil kami.

Kembalilah kami ke Danau Toba dengan pemandangan sore yang indah. Kami merasa cukup lelah, dan pasti lebih melelahkan untuk Kila dan ayahku yang menyetir. Ada untungnya juga tidak bisa menyetir..

Hmm.. Perasaan bahagia melihat pemandangan alami yang tidak mungkin kulihat Jakarta benar – benar memberi makanan bagi jiwaku. Tidak ada gedung – gedung tinggi yang angkuh, jalanan lebar yang sarat kendaraan, udara berasap yang tak sedap dihirup.. Yang ada hanyalah hijaunya pohon – pohon, udara beraroma pasir dan air danau serta keluarga yang aku cintai.

Liburan ini menyenangkan dan aku berterima kasih pada Tuhan untuk itu. Ayooooo.. Mampirlah ke Danau Toba, salah satu danau terluas di Asia Tenggara..

Sahabat Terbaikku


Aku ingat waktu pertama bertemu Tria Sukmadewi, kami ada di kelas listening dan dia duduk di sebelahku. Kami berkenalan dan mengobrol sepintas. Saat itu kami sama – sama kuliah di AKSEK/LPK Tarakanita. Saat siang diumumkan akan ada misa di kampus dan aku mengajak Ia untuk ikut misa bersama. Tentu saja karena aku saat itu tidak tahu kalau Ia ternyata muslim. Saat kuajak Ia hanya tersenyum dan aku berdiri 15 menit di luar aula menunggunya bersama satu temanku. Minggu depan saat kelas listening ternyata ada perubahan nomor tempat duduk dan Ia tidak duduk di sebelahku lagi.

Beberapa minggu setelah peristiwa tersebut, aku bertemu Ia saat sedang pulang kerumah dari kostan, aku melihat Ia memakai kerudung, sontak aku langsung bertanya, “Ia, maaf, lo muslim?”, dan Ia mengiyakan jawabanku. Aku langsung berkata, “Ya ampuuun.. Maaf ya, kemaren gw semena-mena ngajak lo misa, gw gak tau.” Ia tersenyum dan sejak saat itu, entah bagaimana ceritanya, kami menjadi semakin dekat.

Kami sering bersama saat kuliah, terutama kalau memiliki jadwal kuliah yang sama. Ia adalah orang yang selalu bersemangat dan tersenyum. Kadang bahkan terlalu bersemangat saat orang – orang disekitarnya tidak, bisa jadi kekurangan dan kelebihan. Tetapi aku, memilih itu sebagai salah satu kelebihannya. Rasa sayangnya terhadap sahabat dan keluarga tak pernah habis. Walaupun aku merasa tidak selalu jadi orang yang baik dihadapannya, kadang aku jutek, kadang aku mood-moodan, kadang aku tak mau diganggu saat sibuk, rasa sayang Ia tak pernah habis untukku.

Kami memiliki banyak masalah yang sama, kisah hidup kami memang mirip – mirip di beberapa hal. Dulu kami sama – sama punya pacar yang beda agama, Ia punya pacar Katolik dan aku punya pacar Islam. Aku sempat berpikir andaikan pacar kami bisa ditukar, tapi kami sama – sama tidak bersedia, karena saat itu kami sayang pacar kami masing – masing. Hehehe..

Cobaan hidup Ia sangat berat, tapi aku yakin dengan mental dan semangat yang seakan tak pernah habis Ia miliki, Ia sanggup menghadapi segalanya. Aku menangis saat Ia bercerita panjang lebar tentang masalah hidupnya, dan Ia pun menangis saat aku berbagi kisah hidupku. Selain tangisan, tentu saja kami lebih banyak berbagi tawa dan kebahagiaan bersama.

Sebagai anak dari seorang pejabat polisi yang cukup tinggi (kalau jalan sama Ia tak pernah khawatir ditilang, karena kalau ditilang dia tinggal telepon Ayahnya dan bebaslah kami), Ia tidak pernah sombong. Bahkan dengan semua yang Ia miliki saat ini, ia tidak pernah sombong. Itu yang membuatku nyaman sekali dengannya.

Kami juga sama – sama suka nyasar, di Jakarta atau di Bali, tak pernah kami lolos dari jerat sang nyasar. Walaupun aku bukanlah navigator yang bisa mengarahkan Ia saat menyetir, sekali lagi, Ia tidak pernah marah padaku. Mungkin Ia sudah jatuh kasihan melihat wajahku yang memelas. Wkwkwkw..

Dan di AKSEK/LPK Tarakanita jugalah aku bertemu dengan salah satu sahabatku yang punya nama sama panjangnya dengan kereta, Theresia Legio Maria Lira Don Bosschow (bener gak Neq, ejaannya?). Dulu grup kami ada 5 orang, aku, Ia, Lira, Ari, Toeska dan Renny. Lira kemana – mana selalu bersama Ari. Tetapi selepas kuliah, kami justru lebih sering jalan bareng. Mengingat Ia tinggal di Bali.

Lira adalah pendengar yang sangat baik. Dia tak pernah lelah mendengarkan keluhan – keluhanku, kisah – kisah hidupku, tangisanku, kemarahanku, pokoknya semua beban yang ada di otakku. Aku merasa mungkin kalau aku di posisi dia, aku belum tentu bisa sesabar itu.

Lira memiliki hati yang baik dan bijaksana. Dia juga punya tawa khas yang bisa membahana seantero jagad mall.. Hehe.. Soalnya kalau kita janjian pasti sebagian besar di mall. Dan dia juga tak pernah marah, kalau aku terlambat datang saat kita janjian. “Gw udah terlatih, neq” Katanya. Entah aku harus malu atau sedih mendengarnya. Maaf ya Neq, I love you sayaaaang.. Hehehe..

Pengalaman dengannya yang sulit kulupakan adalah saat kami harus tambal ban di jam 2 pagi, pulang dari menonton Java Jazz yang diujung belahan Jakarta sana. Kakiku sampai biru – biru karena aku membawa motor laki – laki yang cukup tinggi dan berat. Tapi saat kejadian, tak satupun keluhan keluar dari mulut kami berdua, yang ada hanya senyum dan tawa yang membahana itu. Aku akhirnya menginap di kostan Lira dan ternyata.. Portal kompleks menuju kostan Lira ditutup di berbagai penjuru, alhasil, keliling – kelilinglah kami mencari portal yang dibuka sampai jam 3 pagi walaupun akhirnya kami nyelip – nyelip di sisi portal dengan penuh perjuangan.

Tak seperti Ia dan aku yang menceritakan semua kisah hidup kami, Lira cenderung tertutup dengan kisah hidupnya. Lira hanya menceritakan sekilas –sekilas kisah hidupnya tetapi dia adalah pendengar yang terbaik nomer satu buatku.

Itu adalah kisah dua sahabat terbaikku sampai saat ini dan dengan sepenuh hati aku berharap, semoga mereka tetap menjadi sahabat terbaikku sampai tua nanti. Sampai kami memiliki banyak anak cucu, bahkan sampai kami menutup mata kami.