Jumat, April 03, 2009

Situ Gintung, Minggu Pagi

Pagi ini sama seperti hari Minggu pagi lainnya. Ketika bangun pagi aku masih bisa mendengar suara burung berkicau dan suara ayam peliharaan tetanggaku yang sudah begitu cerewet dari subuh. Yang berbeda adalah keadaan jalan di depan rumahku. Kendaraan yang lewat begitu padat. Suasana dan suara kendaraan di jalan begitu riuh sehingga cukup menggangu tidurku. Suara itu bukan hanya suara mobil dan motor.. suara itu bercampur dengan suara ambulans, tim SAR bahkan helicopter tim penyelamat atau media elektronik yang ingin meliput. Tanggul Situ Gintung jebol dua hari yang lalu..

Hampir setiap malam selama beberapa minggu sebelum kejadian aku selalu dihantui dengan mimpi yang berhubungan dengan air. Misalnya aku berenang di sungai atau melihat aliran air yang begitu berlimpah.. atau aku mandi dengan air jernih yang berlimpah – limpah. Aku sempat menceritakan mimpi ini pada keluarga dan teman – temanku. Mereka dan aku sendiri berpikir, mungkin itu karena aku memang hobi berenang dan ada juga yang bilang mungkin supaya aku lebih sering mandi.. Mungkin juga karena sudah sebulan lebih aku ga berenang. Ada hal aneh lain, aku selalu membawa segelas air ke kamar saat mau tidur karena aku punya kebiasaan minum segelas air saat baru bangun tidur. Beberapa hari sebelum kejadian, selalu ada semut yang masuk dan “tenggelam” di air minumku itu. Setiap pagi aku selalu berpikir, kasihan sekali semut – semut itu.. mereka harus mati tenggelam di gelas air minumku dan bertanya – tanya kenapa beberapa hari ini semut itu selalu mendatangi dan mengerumuni gelasku. Kejadian ini berhenti kurang lebih dua hari sebelum bencana itu terjadi. Entah ini memang pertanda atau hanya aku yang menghubung – hubungkan.. tetapi semua itu memang terjadi..

Kamis sore, sehari sebelum kejadian. Kawasan Ciputat dan sekitarnya diguyur hujan yang sedemikian deras. Aku dan kakakku menikmati derasnya hujan di jendela kamar kami, mengagumi air yang melimpah menyirami atap rumah kami, gemuruh guntur menggelegar susul – menyusul. Kakakku berkata, “Cuma Tuhan ni yang bisa buat hujan kayak gini.. Hebat banget ya?” Aku mengangguk tanda setuju. Beberapa daerah dekat rumah bahkan terkena hujan es walaupun aku sendiri tidak menyaksikan. Walau udara sangat dingin, aku memaksakan diri untuk mandi. Dan setelah mandi, kakiku terasa sangat amat ngilu, sekujur tubuh nyeri. “Mungkin aku masuk angin..” pikirku setelah dikerok ibunda tercinta sebelum pergi tidur.

Jumat pagi, ketika aku bangun dan menuruni tanggal ibuku berkata, “Na, tanggung danau Gintung jebol.. Bapak tadi pagi udah kesana katanya banyak rumah ancur.” Begitu Bapakku langsung bercerita, “Rumah banyak yang ancur, airnya sampe ke Cirendeu.” Aku sendiri masih bertanya – tanya sehebat apa bencana yang bisa ditimbulkan oleh danau yang kukenal indah dan tenang itu?
Aku berangkat jam 8 pagi, belum sarapan dan masih ada sisa – sisa nyeri hasil kerokan semalam. Jalanan macet total.. Metro mini 74 kesayanganku yang biasanya ngebut dan pandai nyelip – nyelip tidak bisa berbuat apa – apa. Di sisi kanan jalan yang kosong susul – menyusul lewat ambulans dan tim SAR, ada juga iring – iringan motor dengan orang yang membawa pancingan. Sempet – sempetnya mereka mikir mau mincing di danau yang memang terkenal banyak ikannya tersebut. Dan tebak! Aku sampai kantor jam setengah 12 siang, itupun aku nyambung naik ojeg dari fly over Bintaro. Supir ojegku pintar, dia motong lewat jalan tol yang ternyata hari itu boleh dilewati oleh kendaraan apa saja karena jalanan macet total.

Sampai di kantor aku sempat melihat TV, reportase berita soal jebolnya tanggul Situ Gintungku. Rumah sekitar danau habis luluh lantak, yang tersisa hanya puing – puing tembok, tanah dan tidak bersisa sama sekali keindahan yang dulu sering kunikmati. Air mengalir deras sampai perumahan Cirendeu Permai yang berjarak cukup jauh dari danau.

Gosh! ITU ADALAH RUTE LARI PAGIKU!!.. it’s my jogging track! Start lariku adalah di Situ Gintung, lurus lalu belok kanan ke perumahan dan nembus di salah satu rumah besar yang kata orang – orang itu adalah rumahnya Yusril Ihza Mahendra. Aku sendiri tidak pernah melihat batang hidungnya setiap melewati rumah tersebut. Lalu lurus lagi ke hutan percobaan Universitas Muhammadiyah, melewati kampus – kampusnya, melewati TK yang ternyata sekarang juga hancur tak bersisa. Lurus terus menanjak ke arah Mesjid yang sama sekali tidak roboh dan pabrik tahu yang sekarang sudah rata dengan tanah. Setelah capek lari pagi, aku dan sahabatku pergi ke pasar kaget yang disingkat SMS (Sabtu Minggu Sandratex). Disebut SMS karena pasar kaget itu hanya ada di hari Sabtu dan Minggu. Kami melakukan lari pagi hampir setiap minggu dengan waktu dan rute yang sama. Kadang kami makan nasi uduk yang dijual di pinggir danau. Karena banyak juga penduduk setempat yang lari pagi di sekitar danau.

Suasana siang di danau tersebut juga tak kalah menarik. Aku ingat sekali ketika aku sering ikut ibuku arisan di daerah Cirendeu atau Kampung Gunung pasti kami melewati danau tersebut. Aku sering meminta ibuku dan tukang ojeg kami untuk jalan perlahan – lahan karena hembusan angin danau dan pemandangannya begitu memikat hatiku dan membekas sampai sekarang. Aku pernah duduk – duduk di pinggir danau itu pada siang hari. Udara dan pemandangannya masih sama seperti waktu aku kecil.. Berkali - kali entah kenapa, aku berpikir untuk mengambil foto pemandangan Situ Gintung dan bodohnya keinginan itu tidak pernah terlaksana sampai hari ini.

Pemandangan malam di Situ Gintung tak kalah indah. Air danau berwarna hitam berkilauan, kadang – kadang merefleksikan bentuk bulan malam ditambah kelap – kelip lampu penduduk dan bintang – bintang. Aku beberapa kali kesana pada malam hari walaupun tidak sesering di pagi dan siang hari karena pada malam hari banyak banget orang pacaran duduk – duduk di pinggir danau itu. *sigh*

Dan sekarang semua itu hancur.. Aku marah dan sedih. Marah begitu menonton di TV dan tahu bahwa persoalan tanggul yang sudah memerlukan perbaikan ini sudah berkali – kali disampaikan ke Pemda oleh seorang ahli arsitektur Lansekap. Tapi berkali – kali ditunda juga dengan alasan kekurangan dana. Sedih karena korban jiwa sudah mencapai 91 orang dan masih banyak orang yang hilang.. Mereka mungkin pernah berpapasan denganku waktu aku lari pagi, mereka mungkin pernah makan nasi uduk di bersamaku, mereka mungkin juga pernah duduk – duduk di sampingku.. Mereka mungkin orang yang kukenal.. Tak terhitung berapa banyak kerugian yang mereka alami.. Mungkin itu semua bisa terobati dengan bantuan yang coba kami dan banyak orang kirimkan. Tapi lebih tak terhitung adalah luka batin dan trauma yang mereka alami. Aku marah kenapa kami, para penduduk sekitar tidak tahu bahwa tanggul itu sudah harus diperbaiki.. Aku marah kenapa aku hanya bisa lewat dan menikmati keindahan danau, tanpa tahu sejarahnya. Tanpa tahu bahwa tanggul itu dibangun Belanda tahun 1937 dan sekarang perlu dirawat dan diperbaharui. Entahlah.. Marahku ini tak berguna sekarang. Sekarang yang berguna adalah membangun kembali Situ Gintungku.. Situ Gintung kami..

Tidak ada komentar: