Sabtu, Desember 06, 2008

KRISIS KODOK



Selain peristiwa teror di Mumbai, India yang sangat mengagetkan Gw dan semua orang, entah kenapa ketika membaca berita ini, batin Gw benar – benar tersentak..

“Sadarkah Anda bahwa jumlah populasi kodok dunia tengah merosot tajam? Bisa jadi, kodok – kodok yang biasanya berkoar – koar pada malam hari di sekitar kita akan ikut menghilang. Mereka hanya sebagian kecil dari 370-an jenis kodok yang ada di Indonesia..”
(Wuragil, “Nyanyian Balada Kodok”, Koran Tempo, 5/12/2008)

Gw mulai berpikir, kapan terakhir kali mendengar suara kodok? Gw tidak ingat persis, mungkin itu ketika Gw masih SD. Saat sebelah rumah Gw bukanlah rumah besar dan bengkel seperti sekarang. Saat itu sebelah rumah Gw adalah tanah kosong yang lapang. Ada banyak pohon besar dan tanaman rambat di bawahnya. Gw dan teman – teman biasa bermain di sana, main holla-hoop sampai pura – pura masak mie dari tanaman parasit tali putri yang banyak tumbuh merambati tanaman lain. Di sana juga ada kolam kecil yang sengaja dibuat warga, dan samar – samar Gw bisa melihat kodok, kadal dan serangga lain berlarian di sekitar kolam itu. Suara kodok itu indah, walaupun bentuknya sendiri agak menyeramkan. Suara kodok, jangkrik dan burung menjadi koor yang mengantar tidur Gw kala itu.

Tapi sekarang, sejauh mata Gw memandang, susah sekali menemukan tanah lapang dengan banyak pohon di sekitar rumah Gw. Yang ada hanya perumahan dan jalan yang hampir seluruhnya diaspal atau dibeton. Ironis memang.. menyaksikan jalan yang terus menerus rusak karena kebanjiran.. Ketika rusak, jalan akan terus menerus dilapisi beton. Padahal persoalannya bukan pada kualitas beton atau kendaraan yang banyak melewati jalan tersebut, persoalannya hanya satu.. Air yang tergenang. Tidak ada saluran untuk mengalirkan air yang menggenang tersebut, sehingga apabila hujan besar, air akan terus menerus menggenang di situ dan menimbulkan banjir. Kekuatan air yang tidak kelihatan tersebut ternyata sangat dahsyat, bisa mengikis aspal dan membuatnya terus – menerus rusak walaupun akhirnya dilapisi aspal atau beton lagi.

Kembali ke soal kodok, populasi binatang di dunia, khususnya Jakarta juga semakin merosot. Di artikel tersebut juga disebutkan, bahwa seorang pengajar di Departeman Konservasi Sumber Daya Kehutanan dan Ekoturisme yang bertahun – tahun meneliti kodok menemukan bahwa ada kodok – kodok hutan berjemur di bawah terik sinar matahari. Ia menemukan penyimpangan perilaku kodok dari biasanya, karena kodok biasanya aktif di malam hari dan hidup di lingkungan yang lembab. Setelah diteliti, ternyata beberapa kodok di Indonesia sudah positif terserang jamur chytrid yang menyerang keratin di kulit dan gigi. Maka, disimpulkan kepunahan kodok juga disebabkan oleh infeksi jamur selain juga karena habitat mereka yang terus – menerus digusur.

Dalam artikel ini juga disebutkan selain kodok, ada banyak makhluk hidup lain yang pelan – pelan punah akibat pemanasan global, misalnya beruang kutug, codfish (ikan penghasil minyak ikan) dan karang laut. Yang menarik, disebutkan, ada bangsa kutu di Skandinavia yang terpaksa bermigrasi ke timur akibat suhu udara yang meningkat di tempat tinggalnya. Akibatnya, mereka merambah tempat tinggal penduduk dan menemukan lebih banyak hewan peliharaan untuk diserbu dan menebarkan penyakit infeksi kepada bangsa manusia yang lebih luas.

Kodok merupakan salah satu binatang yang menurut Gw hampir punah di Jakarta. Dan karena binatang tersebut sempat hidup sangat dekat dengan Gw, Gw benar – benar merasakan kepunahan binatang tersebut. Jujur, sejak SMP sampai sekarang Gw tidak pernah melihat ada kodok di sekitar Gw lagi. Dan ini hanya salah satu dari banyak binatang yang akan punah karena populasi manusia yang meningkat tajam di Jakarta. Populasi tersebut menggusur binatang – binatang yang bisa saja telah hidup lebih lama dari kita di Jakarta ini..

Tidak ada komentar: