Kamis, November 15, 2012

Manjali dan Cakrabirawa



Ayu Utami, gw udah denger namanya dari dulu tapi gak pernah tertarik baca bukunya. Alasan pertama karena stigma gw terhadap penulis Indonesia yang kebanyakan bikin cerita yang akhirnya mudah ditebak, setidaknya itu kesimpulan yang gw ambil setelah membaca beberapa buku dengan penulis Indonesia. Dan, anggapan gw berubah setelah membaca buku Ayu Utami ini. Anggapan gw emang sempit, mungkin juga karena pengetahuan gw yang memang kurang luas dan terlalu percaya diri.


Sebenernya ada beberapa penulis Indonesia yang gw suka, Langit Kresna Haryadi, penulis seri Gajah Mada; Dewi Lestari, pengarang Supernova yang bikin gw kagum dan Alberthiene Endah, penulis buku – buku metropop kalau gw sedang ingin dihibur dengan romansa ringan ibukota.. Eaaaa..

Temen kantor gw, mbak Ita meminjamkan buku Bilangan Fu karangan Ayu Utami ke gw. Buku ini tebaaal.. Pertama agak ragu, tapi setelah baca lama kelamaan semakin penasaran sama akhirnya. Kalau menurut gw, dibandingkan Supernova-nya Dewi Lestari yang sarat akan catatan kaki, buku ini lebih mudah dicerna, walaupun tebelnya Supernova Cuma seperempat dari Bilangan Fu. Komentar gw, buku ini cukup bagus. Cerita tentang sejarah jawa (sepertinya Ayu Utami suka sekali sama cerita Babad Tanah Jawi), petualangan panjat tebing dan dibumbui cinta segitiga Parang Jati, Marja Manjali dan Sandi Yuda. 

Buku itu selesai dalam waktu 1 bulan kalo gak salah, kemudian Mbak Ita menawarkan untuk meminjamkan seri roman dari Bilangan Fu, berjudul Manjali dan Cakrabirawa. Awalnya sempet ragu dan memandang sebelah mata, tetapi akhirnya gw baca juga. 


Berbeda dari Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa lebih ringan, namun tetap sarat akan sejarah kerajaan jawa dan candi - candinya. Lokasi sebagian besar di sebuah candi yang tidak sengaja ditemukan seorang petani yang tinggal di dekat desa Parang Jati. Candi itu diduga sebagai Candi Calwanarang. Suhuhudi didatangi burung gagak dan keesokan harinya ia meminta pengikutnya menginap di rumah salah seorang petani, keesokan harinya petani itu menemukan candi itu. Calwanarang adalah seorang ratu telung berabad – abad yang lalu, dia memiliki anak cantik bernama Ratna Manjali yang secara kebetulan menjadi nama belakang Marja. Calwanarang ini adalah akar dari budaya Leak di Bali. Calwanarang berseteru dengan Airlangga, seorang raja dan anak dari raja bali, Udayana yang menikah dengan gadis Jawa. Sebagai ratu telung yang ditakuti, Calwanarang menolak tunduk pada pemerintahan Airlangga. Airlangga mencari kelemahan Calwanarang, walaupun putrinya Ratna Manjali sangat cantik, kebanyakan pemuda takut melamarnya karena takut dengan ibunya. Ia kemudian menjodohkan putranya, Bahula dengan Ratna Manjali. Mereka akhirnya menikah dan benar – benar jatuh cinta. Calwanarang sangat gembira dan dalam kegembiraannya ia menjadi lengah lalu berhasil dibunuh oleh Airlangga. Dibunuh dalam perasaan bahagia, dan Ratna Manjali, walaupun sedih akan kematian ibunya berbahagia dengan Bahula.

Kebetulan demi kebetulan terjadi, dan kebetulan yang banyak terjadi itu berarti sesuatu, itu kata Jacques, seorang arkeolog asal Prancis yang sangat tertarik meneliti candi – candi di Indonesia. Jacques ikut serta dalam pencarian dan penelitian Candi Calwanarang itu. Marja menemani Parang Jati dan Jacques dalam penelitian candi, sebagai gadis  kota ia perlahan – lahan mulai peka terhadap alam, terhadap orang di sekitar. Kekasih Marja yang juga sahabat Parang Jati bernama Sandi Yuda, menitipkan Marja pada Jati sementara ia melatih militer untuk memanjat. Jati antipati terhadap militer, seperti gw terhadap polisi,  maka Marja dan Yuda sepakat berbohong pada Jati bahwa Yuda pamit untuk menyelesaikan kuliahnya yang nyaris di-DO karena kegemarannya panjat tebing.

Cerita ini juga dilatar belakangi dengan peristiwa G30S/PKI, pasukan Cakrabirawa (yang oleh banci salon dipakai untuk istilah cakep banget, mereka tak sadar bahwa istilah yang mereka pakai memiliki sejarah yang sangat berdarah). Kebetulan Marja bertemu dengan ibu tua dalam perjalanannya di kota, dan kebetulah juga ibu itu dulu adalah anggota Gerwani yang tersingkir dan selamat dari pembantaian tanpa pengadilan jaman dahulu, ia memiliki anak yang kebetulan adalah rekan militer yang dilatih panjat tebing oleh Yuda. Anak ibu itu bernama Musa Wanara, militer yang tergila – gila dengan berbagai bentuk mistis dan klenik, ia membenci komunis dan PKI seperti kebanyakan militer tanpa menyadari bahwa ia adalah anak dari ayah seorang pasukan Cakrabirawa dan Ibu seorang anggota Gerwani. 

Cerita cinta segitiga di buku ini adalah bonus yang menarik buat gw, seperti banyak wanita lainnya, alam bawah sadar pasti terbuai dengan kisah seorang wanita diperebutkan dan dicintai oleh dua laki – laki tampan. Yang satu lembut seperti Jati dan yang lain bergelora (*eaaaa) seperti Yuda. Ayu Utami menggambarkannya dengan apik dan berani. Gw mulai jatuh cinta pada sosok fiksi Parang Jati, lelaki sopan, sederhana tapi “sarat isi”. Ia pintar dan memiliki ketertarikan terhadap arkeologi, jarinya berjumlah dua belas, bukan sepuluh seperti orang biasa. Ia memiliki kepekaan dan mata ketiga. Ayah angkat Jati, Suhuhudi adalah guru spriritual yang kharismatik dan cukup terkenal. Too good to be true memang, tapi cukup memberikan stimulus pada otak gw, kesegaran di tengah – tengah gelombang panas hidup. :D

Marja mulai belajar soal sejarah jawa, kepercayaan klenik dan mistis serta kepekaan alam yang ia tidak dapatkan di kota. Ia belajar dari Jacques, belajar dari pengalamannya, belajar dari Jati.. Anehnya, setelah gw baca buku ini gw merasa lebih peka secara instan. 

Gw belajar tentang ketenangan, ketidak buru – buruan, sesuatu yang langka banget di Jakarta. Gw belajar bahwa beberapa pertanyaan terkadang tidak kita temukan jawabannya dan itu adalah misteri. Teka teki untuk dipecahkan tetapi misteri, kita harus siap untuk tidak mendapatkan jawabannya. 

(Picture taken from http://silvermerenium.blogspot.com/2011/04/manjali-dan-cakrabirawa.html)

Tidak ada komentar: