Kamis, September 27, 2012

Kartini vs Korupsi



Kartini selalu diagung – agungkan sebagai pahlawan wanita Indonesia, tindakannya sebenarnya bermula dari hal kecil. Dari rasa keterpurukannya karena tidak dihargai hanya karena dia wanita. Dia harus merasa terpuruk dan terkucil, maka ia melawan. Mulailah ia membangun wanita – wanita dari lingkungan sekitarnya, lalu perjuangan dan nama harumnya tersebar bahkan masih awet terekam sejarah sampai hari ini.
Semua hal bermulai dari hal kecil, ya, itu yang selalu saya yakini. Begitu juga dengan korupsi, bermula dari hanya korupsi Rp 5 ribu ketika masih kecil, karena tidak ketahuan atau tidak ditindak dengan benar, anak itu mulai merasa hal itu adalah hal biasa. Mulai bertambah menjadi dua kali lipat, lima kali lipat, terbawa sampai dewasa dan bekerja di DPR yang juga sarat korupsi dan akhirnya ia jadi tidak memiliki hati nurani karena menganggap korupsi itu hal yang biasa, hati nurani tak lagi mengontrol dan mengingatkannya, semua hanya bermula dari hal kecil.

Wanita dan khususnya Ibu memegang peranan yang sangat penting dalam keluarga. Seorang ayah bisa saja hanya bekerja dan sesekali membantu istrinya merawat anak, tetapi seorang Ibu khususnya wanita tidak bisa melakukan itu. Hal ini terbukti, bahkan bila seorang Ibu sibuk dengan pekerjaan dan tidak bisa mengurus anaknya, hampir pasti selalu ada wanita lain yang menggantikannya. Entah baby sitter, nenek atau tante. Semuanya wanita, disini saya memandang pentingnya peranan wanita dalam perkembangan anak – anak, dalam menanamkan budaya anti korupsi sejak mereka kecil.


Anak harus ditanamkan nilai – nilai kejujuran dan anti korupsi. Misalnya mulai dari ketika mereka menerima uang jajan pertama di sekolah, uang jajan yang diberikan haruslah diatur anak itu sedemikian rupa. Ketika saya kecil, saya mendapat uang jajan Rp 20.000 perminggu, saya diharuskan bisa mengatur keuangan saya agar cukup Rp 20.000 itu per minggu, orang tua tidak akan pernah menambahkan lagi, kecuali kalau keadaan benar – benar mendesak, itupun sangaaat jaraaang sekali. Dahulu saya menganggap Ibu saya kejam dan pelit, tetapi manfaatnya sangat berasa saat ini. Saya selalu berusaha mencukupkan diri dengan apa yang saya punya. Hal ini mendidik seorang anak sehingga ia belajar mencukupkan diri dari apa yang mereka dapat dan mengatur keuangannya sendiri. Korupsi sendiri saya lihat berakar dari seseorang yang selalu ingin lebih dan tidak bisa mencukupkan diri dari apa yang mereka punya. Korupsi adalah salah satu cara cepat seseorang untuk mendapatkan uang lebih, tak peduli apakah itu benar atau tidak. Sama ketika seorang anak yang selalu merasa tidak cukup jika ia mendapatkan uang jajan Rp5.000 perhari, mereka akan selalu merasa orang tua akan menambahkan uang jajan jika kurang, jadi mereka bisa jajan apa saja yang mereka mau tanpa memikirkan uang mereka cukup atau tidak. Dan ketika orang tua tidak memberi uang lebih ketika uang jajan mereka habis, mereka akan mencari cara lain agar dapat memenuhi kebutuhan mereka. Tanpa sadar konsumerisme sudah tertanam dalam jiwa mereka sejak kecil. Konsumerisme yang menuntun pada rasa selalu kurang dan ini bisa berlanjut pada kebiasaan korupsi. 

Siapa yang harus menanamkan pendidikan ini? Tentu saja seluruh keluarga, dan Ibu sebagai jantung dari keluarga atau wanita – wanita lain pengganti ibu anak tersebut. Mulai dari keluarga. Untuk generasi tua yang sudah terlanjur teracuni budaya korupsi, hukuman dan tindakan tegas adalah ganjarannya. Untuk anak – anak dan remaja, pendidikan dalam rumah sangat penting.

Selain kepada seorang anak, Ibu sebagai seorang istri tentu juga memiliki pengaruh besar kepada suaminya. Mereka bisa mengingatkan dan tentu saja didengarkan suami mereka terkait dengan tindakan preventif korupsi.

Kartini tentu bersedih jika melihat wanita – wanita yang saat ini tersandung kasus korupsi, tersandung bukan kata yang tepat sepertinya, tapi terjerembab ke jurang korupsi. Misalnya Angelina Sondakh dan Arthalyta Suryani, mereka adalah wanita, terlebih lagi juga seorang Ibu dan Miranda juga seorang nenek. Mereka seharusnya jantung keluarga yang memberikan contoh dan didikan kepada anak – anaknya. Hasil perjuangan kartini mereka sia – siakan begitu saja. Seorang wanita adalah tanah gembur untuk kehidupan, karena semua kehidupan berasal dan tumbuh dari dalam tubuh mereka. Seorang wanita haruslah bisa memenangkan Kartini dalam diri mereka, bukan memenangkan korupsi untuk mengerogoti mereka, agar mereka bisa meneruskan budaya anti korupsi ke anak – anak dan suami mereka, menciptakan keluarga yang bebas korupsi. Keluarga, lingkungan, masyarakat dan akhirnya Negara yang bebas korupsi.

Siapakah yang akan menang? Kartini vs Korupsi? Hai wanita, mari kita menangkan Kartini dalam diri kita.



Tidak ada komentar: