Minggu, Juni 10, 2012

Soegija dan Mariyem




Soegija, beberapa bulan sebelum mulai ditayangkan, film ini sudah ramai dibicarakan di Gerejaku. Kebanyakan umat feel excited, karena sedikit sekali film yang bertemakan Katolik. Ekspektasi kami tinggi dan hampir semua teman gerejaku berniat menonton film ini bersama seluruh keluarganya. Film ini mulai ditayangkan tanggal 7 Juni 2012, dan terang saja, di hari pertama film ini diputar susah sekali mendapatkan tiket. Bahkan ketika sudah datang jam 10 pagi untuk beli tiket jam 7 malam, bioskop sudah penuh.
Akhirnya di hari kedua penayangan film dan kami mendapatkan tiket, walaupun dengan tempat duduk yang agak kedepan. Tiba di bioskop, sebagian besar penonton adalah umat Gereja separoki ataupun umat paroki sebelah. Berasa seperti pertemuan paroki..

Film dimulai dengan khotbah Mgr. Soegija (baca : Monsinyur Sugiyo) dalam bahasa Belanda. Jaman dahulu, bacaan Kitab Suci dan upacara seluruhnya dilakukan dalam bahasa latin dan khotbah dengan Bahasa Belanda karena misa juga dihadiri oleh orang – orang Belanda. Tinggallah warga pribumi yang hanya bengang bengong tak mengerti sama sekali, tapi dengan iman kuat dan teguh, mereka tetap menghadiri misa. Ketika jaman kemerdekaan, khotbah baru dibawakan dalam Bahasa Indonesia.Beda dengan kita sekarang yang saking mengertinya tata cara Ekaristi jadi suka males dateng misa. Hehe..  


Film ini menggambarkan kisah beberapa tokoh, pertama, tentunya Mgr. Soegija, Uskup Semarang yang juga Uskup pribumi pertama di Indonesia. Kedua, Mariyem, gadis pribumi yang ditinggal mati kakak laki – lakinya dan berprofesi sebagai perawat. Ketiga, Ling – Ling, gadis kecil keturuhan Tiong Hoa yang terpisah dari Ibunya yang dibawa tentara Jepang. Ling – Ling lalu tinggal dengan kakeknya dan bertemu Mariyem di pengungsian. Mariyem bersama kakaknya, setiap hari juga selalu membawakan soto dari restoran Ibunya Ling – Ling untuk Mgr. Soegija.

Quote Mgr. Soegija yang terkenal adalah “100% Republik, 100% Katolik”. Ia memiliki jiwa nasionalis yang tinggi dan pemikiran – pemikirannya universal. Tokoh Mgr. Soegija di film ini digambarkan  kurang mendalam. Hanya ketika ia ditahbiskan menjadi Uskup, ketika gereja Katolik digeledah tentara Belanda, ketika memberikan khotbah di Gereja.  Ketika ia menuliskan pikiran – pikirannya, ketika ia berkunjung ke kampung – kampung. Mgr. Soegija digambarkan dengan agung, bahkan terlalu agung. Rakyat kecil selalu mencium tangannya ketika bertemu dan menunduk. Mungkin ini yang dilakukan rakyat kecil jaman dahulu ketika bertemu dengan tokoh yang disegani. Tetapi di film ini, Mgr. Soegija kurang digambarkan membumi dan terjun langsung dalam pelayanan masyarakat. Sebenarnya posisi Uskup sekarang masih disegani di Gereja Katolik. Jika dibandingkan dengan pemerintahan, Uskup Jakarta bisa dibilang setara dengan posisi Gubernur Jakarta. Mgr. Soegija sendiri sebenarnya, selain seorang pemikir, adalah seorang motivator gerilyawan, cukup dekat dengan Soekarno serta bisa melobi Vatikan untuk mengirimkan dutanya ke Yogyakarta. Hal - hal tersebut tidak ada dalam film ini. 

Tokoh kedua, Mariyem adalah tokoh yang paling dominan di film ini, menurutku. Perjuangannya benar – benar berat. Ia bersekolah perawat dan lulus, langsung bekerja sebagai perawat. Memiliki kemampuan berbahasa Belanda karena ayahnya dulu memiliki percetakan dan ia belajar membaca tulisan berbahasa Belanda dan puisi – puisi yang dibuat oleh tentara Belanda. Kakaknya, Maryono adalah seorang pejuang dan akhirnya tewas di tangan tentara Jepang. Seorang wartawan Belanda bernama Hendrik, naksir berat dengan Mariyem. Tetapi Mariyem begitu sibuk dengan pelayanannya sebagai perawat dan memiliki hati yang pedih karena kakaknya tewas. Ia tak lagi memiliki ruang untuk Hendrik, walaupun sebenarnya Mariyem mungkin saja juga jatuh cinta pada Hendrik. Hendrik kemudian harus kembali ke negaranya karena situasi Indonesia sudah tak lagi kondusif untuknya. Ia menemui Mariyem sebelum kembali ke Belanda dan menghadiahkan foto – foto buatannya, foto – foto apakah itu? Lebih baik nonton sendiri ya.. :) Unpredictable pokoknya.. Perjuangan Mariyem digambarkan lebih intens di film ini daripada Mgr. Soegija. Saudaraku bilang, film ini memang tidak menggambarkan Mgr. Soegija tetapi menceritakan orang – orang di sekitarnya.  Perjuangan Mariyem ketika masih mengikuti pendidikan perawat, dalam pelayanannya sebagai perawat, menghadapi tentara Belanda yang ingin menggeledah rumah sakit, ketegarannya ketika menghadapi kakaknya yang meninggal. Ia adalah gambaran wanita kuat yang harus bertahan di tengah – tengah kondisi perang.

Tokoh ketiga adalah Ling – Ling. Gadis kecil ini sangat menyukai pantai dan suka berdansa. Ibunya, yang diperankan Olga Lidya yang mengajarkan Ling – Ling berdansa. Ibu dan kakeknya mengelola restoran yang sering dikunjungi orang – orang asing, Belanda ataupun Jepang. Termasuk seorang petinggi tentara Jepang yang nantinya menolong Ling – Ling ketika rumahnya digeledah tentara Jepang.

Ada juga tokoh bernama Pak Besut, ia adalah penyiar radio yang selalu melakukan reportase keadaan Indonesia saat itu dalam bahasa Jawa bercampur sedikit Indonesia, terkadang bahasa Belanda. Ibuku bilang jaman dahulu memang ada penyiar bernama Pak Besut di radio Jawa. Ia melakukan reportase radio baik langsung dari lapangan ataupun dari studio, Pak Besut juga memiliki asisten yang memegangi speaker besar ketika ia melakukan reportase di lapangan, asistennya kurus dan canggung, selalu membuatku terhelak ketika ia muncul. Selain itu ada tokoh lelaki remaja tanggung yang juga selalu membuatku tertawa ketika ia muncul, dengan tampang pas – pasan dan pistol yang entah asli atau palsu bertengger di belakang celananya, ia bekerja keras belajar membaca dari awal film sampai akhir. Di akhir film akhirnya ia berhasil mengeja  dan membaca tulisan merdeka.. Ia sangat bangga dengan hal itu.

Pemeran tokoh – tokoh di film ini memiliki akting yang sangat bagus. Setting latarnya juga nyaris sempurna menurutku. Dari pakaian sampai peralatan terkecil seperti gayung dan gelas. Semuanya menggambarkan keadaan jaman perang Belanda dan Jepang. Untuk keotentikan setting latar, aku memberikan poin 9, untuk cerita 7.

Film ini ringan, sederhana dan menyegarkan. Cocok untuk tontonan keluarga.. Mungkin judulnya perlu diganti menjadi Soegija dan Mariyem.. Karena karakter Mariyem begitu kuat. Thanks to Garin Nugroho yang sudah bersusah payah membuat film ini.. Penyegaran untuk kami, umat Katolik.. Sungguh mengagumkan melihat film dengan setting yang sangat asli serta tokoh Uskup yang sangat kami banggakan sebagai pemeran utamanya.. Thanks once again, Garin Nugroho.. 

Tidak ada komentar: