Soegija, beberapa bulan sebelum mulai
ditayangkan, film ini sudah ramai dibicarakan di Gerejaku. Kebanyakan umat feel
excited, karena sedikit sekali film yang bertemakan Katolik. Ekspektasi kami
tinggi dan hampir semua teman gerejaku berniat menonton film ini bersama
seluruh keluarganya. Film ini mulai ditayangkan tanggal 7 Juni 2012, dan terang
saja, di hari pertama film ini diputar susah sekali mendapatkan tiket. Bahkan
ketika sudah datang jam 10 pagi untuk beli tiket jam 7 malam, bioskop sudah
penuh.
Akhirnya di hari kedua penayangan film dan
kami mendapatkan tiket, walaupun dengan tempat duduk yang agak kedepan. Tiba di
bioskop, sebagian besar penonton adalah umat Gereja separoki ataupun umat
paroki sebelah. Berasa seperti pertemuan paroki..
Film dimulai dengan khotbah Mgr. Soegija
(baca : Monsinyur Sugiyo) dalam bahasa Belanda. Jaman dahulu, bacaan Kitab Suci
dan upacara seluruhnya dilakukan dalam bahasa latin dan khotbah dengan Bahasa
Belanda karena misa juga dihadiri oleh orang – orang Belanda. Tinggallah warga
pribumi yang hanya bengang bengong tak mengerti sama sekali, tapi dengan iman
kuat dan teguh, mereka tetap menghadiri misa. Ketika jaman kemerdekaan, khotbah
baru dibawakan dalam Bahasa Indonesia.Beda dengan kita sekarang yang saking
mengertinya tata cara Ekaristi jadi suka males dateng misa. Hehe..
Film ini menggambarkan kisah beberapa
tokoh, pertama, tentunya Mgr. Soegija, Uskup Semarang yang juga Uskup pribumi
pertama di Indonesia. Kedua, Mariyem, gadis pribumi yang ditinggal mati kakak
laki – lakinya dan berprofesi sebagai perawat. Ketiga, Ling – Ling, gadis kecil
keturuhan Tiong Hoa yang terpisah dari Ibunya yang dibawa tentara Jepang. Ling
– Ling lalu tinggal dengan kakeknya dan bertemu Mariyem di pengungsian. Mariyem
bersama kakaknya, setiap hari juga selalu membawakan soto dari restoran Ibunya
Ling – Ling untuk Mgr. Soegija.
Quote Mgr. Soegija yang terkenal adalah
“100% Republik, 100% Katolik”. Ia memiliki jiwa nasionalis yang tinggi dan
pemikiran – pemikirannya universal. Tokoh Mgr. Soegija di film ini
digambarkan kurang mendalam. Hanya ketika
ia ditahbiskan menjadi Uskup, ketika gereja Katolik digeledah tentara Belanda,
ketika memberikan khotbah di Gereja. Ketika
ia menuliskan pikiran – pikirannya, ketika ia berkunjung ke kampung – kampung.
Mgr. Soegija digambarkan dengan agung, bahkan terlalu agung. Rakyat kecil
selalu mencium tangannya ketika bertemu dan menunduk. Mungkin ini yang
dilakukan rakyat kecil jaman dahulu ketika bertemu dengan tokoh yang disegani.
Tetapi di film ini, Mgr. Soegija kurang digambarkan membumi dan terjun langsung
dalam pelayanan masyarakat. Sebenarnya posisi Uskup sekarang masih disegani di
Gereja Katolik. Jika dibandingkan dengan pemerintahan, Uskup Jakarta bisa
dibilang setara dengan posisi Gubernur Jakarta. Mgr. Soegija sendiri sebenarnya, selain seorang pemikir, adalah seorang motivator gerilyawan, cukup dekat dengan Soekarno serta bisa melobi Vatikan untuk mengirimkan dutanya ke Yogyakarta. Hal - hal tersebut tidak ada dalam film ini.
Tokoh kedua, Mariyem adalah tokoh yang
paling dominan di film ini, menurutku. Perjuangannya benar – benar berat. Ia
bersekolah perawat dan lulus, langsung bekerja sebagai perawat. Memiliki
kemampuan berbahasa Belanda karena ayahnya dulu memiliki percetakan dan ia
belajar membaca tulisan berbahasa Belanda dan puisi – puisi yang dibuat oleh
tentara Belanda. Kakaknya, Maryono adalah seorang pejuang dan akhirnya tewas di
tangan tentara Jepang. Seorang wartawan Belanda bernama Hendrik, naksir berat
dengan Mariyem. Tetapi Mariyem begitu sibuk dengan pelayanannya sebagai perawat
dan memiliki hati yang pedih karena kakaknya tewas. Ia tak lagi memiliki ruang
untuk Hendrik, walaupun sebenarnya Mariyem mungkin saja juga jatuh cinta pada
Hendrik. Hendrik kemudian harus kembali ke negaranya karena situasi Indonesia
sudah tak lagi kondusif untuknya. Ia menemui Mariyem sebelum kembali ke Belanda
dan menghadiahkan foto – foto buatannya, foto – foto apakah itu? Lebih baik
nonton sendiri ya.. :) Unpredictable pokoknya.. Perjuangan Mariyem digambarkan
lebih intens di film ini daripada Mgr. Soegija. Saudaraku bilang, film ini
memang tidak menggambarkan Mgr. Soegija tetapi menceritakan orang – orang di
sekitarnya. Perjuangan Mariyem ketika
masih mengikuti pendidikan perawat, dalam pelayanannya sebagai perawat,
menghadapi tentara Belanda yang ingin menggeledah rumah sakit, ketegarannya
ketika menghadapi kakaknya yang meninggal. Ia adalah gambaran wanita kuat yang
harus bertahan di tengah – tengah kondisi perang.
Tokoh ketiga adalah Ling – Ling. Gadis
kecil ini sangat menyukai pantai dan suka berdansa. Ibunya, yang diperankan
Olga Lidya yang mengajarkan Ling – Ling berdansa. Ibu dan kakeknya mengelola
restoran yang sering dikunjungi orang – orang asing, Belanda ataupun Jepang.
Termasuk seorang petinggi tentara Jepang yang nantinya menolong Ling – Ling
ketika rumahnya digeledah tentara Jepang.
Ada juga tokoh bernama Pak Besut, ia adalah
penyiar radio yang selalu melakukan reportase keadaan Indonesia saat itu dalam
bahasa Jawa bercampur sedikit Indonesia, terkadang bahasa Belanda. Ibuku bilang
jaman dahulu memang ada penyiar bernama Pak Besut di radio Jawa. Ia melakukan
reportase radio baik langsung dari lapangan ataupun dari studio, Pak Besut juga
memiliki asisten yang memegangi speaker besar ketika ia melakukan reportase di
lapangan, asistennya kurus dan canggung, selalu membuatku terhelak ketika ia
muncul. Selain itu ada tokoh lelaki remaja tanggung yang juga selalu membuatku
tertawa ketika ia muncul, dengan tampang pas – pasan dan pistol yang entah asli
atau palsu bertengger di belakang celananya, ia bekerja keras belajar membaca
dari awal film sampai akhir. Di akhir film akhirnya ia berhasil mengeja dan membaca tulisan merdeka.. Ia sangat
bangga dengan hal itu.
Pemeran tokoh – tokoh di film ini memiliki
akting yang sangat bagus. Setting latarnya juga nyaris sempurna menurutku. Dari
pakaian sampai peralatan terkecil seperti gayung dan gelas. Semuanya
menggambarkan keadaan jaman perang Belanda dan Jepang. Untuk keotentikan
setting latar, aku memberikan poin 9, untuk cerita 7.
Film ini ringan, sederhana dan menyegarkan.
Cocok untuk tontonan keluarga.. Mungkin judulnya perlu diganti menjadi Soegija
dan Mariyem.. Karena karakter Mariyem begitu kuat. Thanks to Garin Nugroho yang
sudah bersusah payah membuat film ini.. Penyegaran untuk kami, umat Katolik.. Sungguh
mengagumkan melihat film dengan setting yang sangat asli serta tokoh Uskup yang
sangat kami banggakan sebagai pemeran utamanya.. Thanks once again, Garin
Nugroho..
(Foto diambil dari http://sensor-journalism.com/wp-content/uploads/2012/06/soegija.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar