Sabtu, Juli 09, 2011
Sahabat Terbaikku
Aku ingat waktu pertama bertemu Tria Sukmadewi, kami ada di kelas listening dan dia duduk di sebelahku. Kami berkenalan dan mengobrol sepintas. Saat itu kami sama – sama kuliah di AKSEK/LPK Tarakanita. Saat siang diumumkan akan ada misa di kampus dan aku mengajak Ia untuk ikut misa bersama. Tentu saja karena aku saat itu tidak tahu kalau Ia ternyata muslim. Saat kuajak Ia hanya tersenyum dan aku berdiri 15 menit di luar aula menunggunya bersama satu temanku. Minggu depan saat kelas listening ternyata ada perubahan nomor tempat duduk dan Ia tidak duduk di sebelahku lagi.
Beberapa minggu setelah peristiwa tersebut, aku bertemu Ia saat sedang pulang kerumah dari kostan, aku melihat Ia memakai kerudung, sontak aku langsung bertanya, “Ia, maaf, lo muslim?”, dan Ia mengiyakan jawabanku. Aku langsung berkata, “Ya ampuuun.. Maaf ya, kemaren gw semena-mena ngajak lo misa, gw gak tau.” Ia tersenyum dan sejak saat itu, entah bagaimana ceritanya, kami menjadi semakin dekat.
Kami sering bersama saat kuliah, terutama kalau memiliki jadwal kuliah yang sama. Ia adalah orang yang selalu bersemangat dan tersenyum. Kadang bahkan terlalu bersemangat saat orang – orang disekitarnya tidak, bisa jadi kekurangan dan kelebihan. Tetapi aku, memilih itu sebagai salah satu kelebihannya. Rasa sayangnya terhadap sahabat dan keluarga tak pernah habis. Walaupun aku merasa tidak selalu jadi orang yang baik dihadapannya, kadang aku jutek, kadang aku mood-moodan, kadang aku tak mau diganggu saat sibuk, rasa sayang Ia tak pernah habis untukku.
Kami memiliki banyak masalah yang sama, kisah hidup kami memang mirip – mirip di beberapa hal. Dulu kami sama – sama punya pacar yang beda agama, Ia punya pacar Katolik dan aku punya pacar Islam. Aku sempat berpikir andaikan pacar kami bisa ditukar, tapi kami sama – sama tidak bersedia, karena saat itu kami sayang pacar kami masing – masing. Hehehe..
Cobaan hidup Ia sangat berat, tapi aku yakin dengan mental dan semangat yang seakan tak pernah habis Ia miliki, Ia sanggup menghadapi segalanya. Aku menangis saat Ia bercerita panjang lebar tentang masalah hidupnya, dan Ia pun menangis saat aku berbagi kisah hidupku. Selain tangisan, tentu saja kami lebih banyak berbagi tawa dan kebahagiaan bersama.
Sebagai anak dari seorang pejabat polisi yang cukup tinggi (kalau jalan sama Ia tak pernah khawatir ditilang, karena kalau ditilang dia tinggal telepon Ayahnya dan bebaslah kami), Ia tidak pernah sombong. Bahkan dengan semua yang Ia miliki saat ini, ia tidak pernah sombong. Itu yang membuatku nyaman sekali dengannya.
Kami juga sama – sama suka nyasar, di Jakarta atau di Bali, tak pernah kami lolos dari jerat sang nyasar. Walaupun aku bukanlah navigator yang bisa mengarahkan Ia saat menyetir, sekali lagi, Ia tidak pernah marah padaku. Mungkin Ia sudah jatuh kasihan melihat wajahku yang memelas. Wkwkwkw..
Dan di AKSEK/LPK Tarakanita jugalah aku bertemu dengan salah satu sahabatku yang punya nama sama panjangnya dengan kereta, Theresia Legio Maria Lira Don Bosschow (bener gak Neq, ejaannya?). Dulu grup kami ada 5 orang, aku, Ia, Lira, Ari, Toeska dan Renny. Lira kemana – mana selalu bersama Ari. Tetapi selepas kuliah, kami justru lebih sering jalan bareng. Mengingat Ia tinggal di Bali.
Lira adalah pendengar yang sangat baik. Dia tak pernah lelah mendengarkan keluhan – keluhanku, kisah – kisah hidupku, tangisanku, kemarahanku, pokoknya semua beban yang ada di otakku. Aku merasa mungkin kalau aku di posisi dia, aku belum tentu bisa sesabar itu.
Lira memiliki hati yang baik dan bijaksana. Dia juga punya tawa khas yang bisa membahana seantero jagad mall.. Hehe.. Soalnya kalau kita janjian pasti sebagian besar di mall. Dan dia juga tak pernah marah, kalau aku terlambat datang saat kita janjian. “Gw udah terlatih, neq” Katanya. Entah aku harus malu atau sedih mendengarnya. Maaf ya Neq, I love you sayaaaang.. Hehehe..
Pengalaman dengannya yang sulit kulupakan adalah saat kami harus tambal ban di jam 2 pagi, pulang dari menonton Java Jazz yang diujung belahan Jakarta sana. Kakiku sampai biru – biru karena aku membawa motor laki – laki yang cukup tinggi dan berat. Tapi saat kejadian, tak satupun keluhan keluar dari mulut kami berdua, yang ada hanya senyum dan tawa yang membahana itu. Aku akhirnya menginap di kostan Lira dan ternyata.. Portal kompleks menuju kostan Lira ditutup di berbagai penjuru, alhasil, keliling – kelilinglah kami mencari portal yang dibuka sampai jam 3 pagi walaupun akhirnya kami nyelip – nyelip di sisi portal dengan penuh perjuangan.
Tak seperti Ia dan aku yang menceritakan semua kisah hidup kami, Lira cenderung tertutup dengan kisah hidupnya. Lira hanya menceritakan sekilas –sekilas kisah hidupnya tetapi dia adalah pendengar yang terbaik nomer satu buatku.
Itu adalah kisah dua sahabat terbaikku sampai saat ini dan dengan sepenuh hati aku berharap, semoga mereka tetap menjadi sahabat terbaikku sampai tua nanti. Sampai kami memiliki banyak anak cucu, bahkan sampai kami menutup mata kami.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar